Dari Pagi Hingga Malam
Di antara pagi, siang, sore, dan malam, waktu favorit saya adalah di sore hari.
Tidak ada yang lebih baik dibandingkan diguyur oleh hangatnya matahari sore, merasakan panasnya menyengat tepat di tengkuk. Seburuk apapun tata kota ini, tetap saja akan terlihat cantik saat berubah menjadi warna jingga keemasan hasil dari kesombongan si matahari sore yang ingin unjuk diri atas keindahannya.
Matahari sore berbeda dengan matahari pagi. Matahari pagi tampil dengan begitu cerah, menandakan bahwa kita sebagai manusia harus memulai kembali berjudi dengan kehidupan. Apakah hari ini kita akan bertemu dengan rejeki? Atau malah bertemu dengan sebuah tragedi?
Sementara itu, matahari sore tampak seperti sosok yang berbeda. Dia merangkul, dan membuat semuanya tampak berkilau. Dia adalah penanda bahwa hari sudah nyaris berakhir, bahwa sebentar lagi kita akan dipertemukan dengan waktu rehat. Dia adalah batas antara pagi dan malam, batas antara hari-hari yang terus bergulir.
Sering kali saya merasa kehadiran saya di dunia ini sama sekali tidak memiliki makna yang signifikan. Di jagat raya yang sangat luas ini, saya hanyalah satu titik tidak berarti diantara miliaran titik lainnya. Saya mendongak keatas dan melihat hamparan bintang, cantik sekali. Teman saya pernah bercerita, saat seseorang meninggal maka orang tersebut akan menjadi bintang. Saya engga tau harus menanggapi cerita tersebut dengan skeptis, atau dengan suka cita. Berarti di atas sana dan di bawah sini, kita sama-sama hanyalah satu titik benderang di antara miliaran titik lainnya.
Di akhir saya berdoa agar menjadi seperti bintang. Saya berdoa untuk terus menjadi terang sampai pada akhirnya redup — lalu padam sepenuhnya.